Kebutuhan akan teknologi Jaringan Komputer semakin
meningkat. Selain sebagai media penyedia informasi, melalui Internet pula
kegiatan komunitas komersial menjadi bagian terbesar, dan terpesat
pertumbuhannya serta menembus berbagai batas negara. Bahkan melalui jaringan
ini kegiatan pasar di dunia bisa diketahui selama 24 jam. Melalui dunia
internet atau disebut juga cyberspace, apapun dapat dilakukan. Segi positif
dari dunia maya ini tentu saja menambah trend perkembangan teknologi dunia
dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun dampak negatif pun tidak bisa
dihindari. Tatkala pornografi marak di media Internet, masyarakat pun tak bisa
berbuat banyak.
Seiring dengan perkembangan teknologi Internet,
menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut dengan “CyberCrime” atau kejahatan
melalui jaringan Internet. Munculnya beberapa kasus “CyberCrime” di Indonesia,
seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data
orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan
perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Sehingga dalam
kejahatan komputer dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik
formil adalah perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin,
sedangkan delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi
orang lain. Adanya CyberCrime telah menjadi ancaman stabilitas, sehingga
pemerintah sulit mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi
komputer, khususnya jaringan internet dan intranet.
1.5.1
Kejahatan di
Internet (Cyber Crime) dan Apa Itu Hacking, Cracking dan Defacing etc ?
Indonesia bukan hanya terkenal
sebagai negara terkorup di dunia, melainkan juga Negara dengan carder tertinggi
di muka bumi, setelah Ukrania. Carder adalah penjahat di internet, yang membeli
barang di toko maya (online shoping) dengan memakai kartu kredit milik orang
lain.
Meski pengguna internet Indonesia
masih sedikit dibanding negara Asia Tenggara lainnya, apalagi dibanding Asia
atau negara-negara maju, nama warga Indonesia di internet sudah “ngetop” dan
tercemar! Indonesia masuk blacklist di sejumlah online shoping ternama,
khususnya di amazon.com dan ebay.com Kartu kredit asal Indonesia diawasi bahkan
diblokir.
Sesungguhnya, sebagai media
komunikasi yang baru, internet memberikan sejuta manfaat dan kemudahan kepada
pemakainya. Namun internet juga mengundang ekses negatif, dalam berbagai tindak
kejahatan yang menggloblal. Misalnya, tindak penyebaran produk pornorgrafi,
pedofilia, perjudian, sampah (spam), bermacam virus, sabotase, dan aneka
penipuan, seperti carding, phising, spamming, dll. Yang gawat, nama negara terseret
karenanya.
Berikut sejumlah jenis kejahatan
via internet :
a.
CARDING
Carding adalah
berbelanja menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain, yang
diperoleh secara ilegal, biasanya dengan mencuri data di internet. Sebutan
pelakunya adalah Carder. Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah
cyberfroud alias penipuan di dunia maya. Menurut riset Clear Commerce Inc,
perusahaan teknologi informasi yang berbasis di Texas – AS , Indonesia memiliki
carder terbanyak kedua di dunia setelah Ukrania. Sebanyak 20 persen transaksi
melalui internet dari Indonesia adalah hasil carding. Akibatnya, banyak situs
belanja online yang memblokir IP atau internet protocol (alamat komputer
internet) asal Indonesia. Kalau kita belanja online, formulir pembelian online
shop
tidak mencantumkan nama negara
Indonesia. Artinya konsumen Indonesia tidak diperbolehkan belanja di situs itu.
Menurut pengamatan ICT Watch,
lembaga yang mengamati dunia internet di Indonesia, para carder kini beroperasi
semakin jauh, dengan melakukan penipuan melalui ruang-ruang chatting di mIRC.
Caranya para carder menawarkan barang-barang seolah-olah hasil carding-nya
dengan harga murah di channel. Misalnya, laptop dijual seharga Rp 1.000.000.
Setelah ada yang berminat, carder meminta pembeli mengirim uang ke rekeningnya.
Uang didapat, tapi barang tak pernah dikirimkan.
b.
HACKING
Hacking adalah kegiatan menerobos
program komputer milik orang/pihak lain. Hacker adalah orang yang gemar ngoprek
komputer, memiliki keahlian membuat dan membaca program tertentu, dan terobsesi
mengamati keamanan (security)-nya. Hacker memiliki wajah ganda; ada yang
budiman ada yang pencoleng.
Hacker Budiman memberi tahu kepada
programer yang komputernya diterobos, akan adanya kelemahan-kelemahan pada
program yang dibuat, sehingga bisa “bocor”, agar segera diperbaiki. Sedangkan,
hacker pencoleng, menerobos program orang lain untuk merusak dan mencuri
datanya.
c.
CRACKING
Cracking adalah
hacking untuk tujuan jahat. Sebutan untuk cracker adalah hacker bertopi hitam
(black hat hacker). Berbeda dengan carder yang hanya mengintip kartu kredit,
cracker mengintip simpanan para nasabah di berbagai bank atau pusat data
sensitif lainnya untuk keuntungan diri sendiri. Meski sama-sama menerobos
keamanan komputer orang lain, hacker lebih fokus pada prosesnya. Sedangkan
cracker lebih fokus untuk menikmati hasilnya. Kasus kemarin, FBI bekerja sama
dengan polisi Belanda dan polisi Australia menangkap seorang cracker remaja
yang telah menerobos 50 ribu komputer dan mengintip 1,3 juta rekening berbagai
bank di dunia. Dengan aksinya, cracker bernama Owen Thor Walker itu telah
meraup uang sebanyak Rp1,8 triliun. Cracker 18 tahun yang masih duduk di bangku
SMA itu tertangkap setelah aktivitas kriminalnya di dunia maya diselidiki sejak
2006.
d.
DEFACING
Defacing adalah kegiatan mengubah
halaman situs/website pihak lain, seperti yang terjadi pada situs Menkominfo
dan Partai Golkar, BI baru-baru ini dan situs KPU saat pemilu 2004 lalu.
Tindakan deface ada yang semata-mata iseng, unjuk kebolehan, pamer kemampuan
membuat program, tapi ada juga yang jahat, untuk mencuri data dan dijual kepada
pihak lain.
e.
PHISING
Phising adalah kegiatan memancing
pemakai komputer di internet (user) agar mau memberikan informasi data diri
pemakai (username) dan kata sandinya (password) pada suatu website yang sudah
di-deface. Phising biasanya diarahkan kepada pengguna online banking. Isian
data pemakai dan password yang vital yang telah dikirim akhirnya akan menjadi
milik penjahat tersebut dan digunakan untuk belanja dengan kartu kredit atau
uang rekening milik korbannya.
f.
SPAMMING
Spamming adalah pengiriman berita
atau iklan lewat surat elektronik (e-mail) yang tak dikehendaki. Spam sering
disebut juga sebagai bulk email atau junk e-mail alias “sampah”. Meski
demikian, banyak yang terkena dan menjadi korbannya. Yang paling banyak adalah
pengiriman e-mail dapat hadiah, lotere, atau orang yang mengaku punya rekening
di bank di Afrika atau Timur Tengah, minta bantuan netters untuk mencairkan,
dengan janji bagi hasil. Kemudian korban diminta nomor rekeningnya, dan
mengirim uang/dana sebagai pemancing, tentunya dalam mata uang dolar AS, dan
belakangan tak ada kabarnya lagi. Seorang rector universitas swasta di
Indonesia pernah diberitakan tertipu hingga Rp1 miliar dalam karena spaming seperti
ini.
g.
MALWARE
Malware adalah program komputer
yang mencari kelemahan dari suatu software. Umumnya malware diciptakan untuk
membobol atau merusak suatu software atau operating system. Malware terdiri
dari berbagai macam, yaitu: virus, worm, trojan horse, adware, browser
hijacker, dll. Di pasaran alat-alat komputer dan toko perangkat lunak
(software) memang telah tersedia antispam dan anti virus, dan anti malware .
Meski demikian, bagi yang tak waspadai selalu ada yang kena. Karena pembuat
virus dan malware umumnya terus kreatif dan produktif dalam membuat program
untuk mengerjai korban-korbannya.
Hati-hati Kejahatan
Internet Dedemit Dunia Maya Acak-acak
Situs Penting
JAKARTA (Pos Kota) – Saat ini
penanganan kejahatan di dunia maya (cyber crime) masih minim, padahal Indonesia
termasuk negara dengan kasus cyber crime tertinggi di bawah Ukrania. Penanganan
kasus kejahatan jenis ini memang membutuhkan kemampuan khusus dari para penegak
hukum.
Dari kasus-kasus yang terungkap
selama ini, pelaku diketahui memiliki tingkat kepandaian di atas
rata-rata. Selain karena motif ekonomi, sebagian hacker melakukan tindakan
merusak website orang lain hanya sekadar untuk pamer kemampuan. Kasus terakhir,
Rizky Martin, 27, alias Steve Rass, 28, dan Texanto alias Doni Michael melakukan
transaksi pembelian barang atas nama Tim Tamsin Invex Corp, perusahaan yang
berlokasi di AS melalui internet. Keduanya menjebol kartu kredit melalui
internet banking sebesar Rp350 juta. Dua pelaku ditangkap aparat Cyber Crime
Polda Metro Jaya pada 10 Juni 2008 di sebuah warnet di kawasan Lenteng Agung,
Jaksel. Awal Mei 2008 lalu, Mabes Polri menangkap hacker bernama Iqra Syafaat,
24, di satu warnet di Batam, Riau, setelah melacak IP addressnya dengan nick
name Nogra alias Iqra. Pemuda tamatan SMA tersebut dinilai polisi berotak encer
dan cukup dikenal di kalangan hacker. Dia pernah menjebol data sebuah website
lalu menjualnya ke perusahaan asing senilai Rp600 ribu dolar atau sekitar Rp6
miliar. Dalam pengakuannya, hacker lokal ini sudah pernah menjebol 1.257 situs
jaringan yang umumnya milik luar negeri. Bahkan situs Presiden SBY pernah akan
diganggu, tapi dia mengurungkan niatnya.
Kasus lain yang pernah diungkap
polisi pada tahun 2004 ialah saat situs milik KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang
juga diganggu hacker. Tampilan lambang 24 partai diganti dengan nama ‘partai
jambu’, ‘partai cucak rowo’ dan lainnya. Pelakunya, diketahui kemudian, bernama
Dani Firmansyah,24, mahasiswa asal Bandung yang kemudian ditangkap Polda Metro
Jaya. Motivasi pelaku, konon, hanya ingin menjajal sistem pengamanan di situs
milik KPU yang dibeli pemerintah seharga Rp 200 miliar itu. Dan ternyata
berhasil.
BOBOL KARTU KREDIT
Data di Mabes Polri, dari sekitar
200 kasus cyber crime yang ditangani hampir 90 persen didominasi carding dengan
sasaran luar negeri. Aktivitas internet memang lintas negara. Yang paling
sering jadi sasaran adalah Amerika Serikat, Australia, Kanada dan lainnya.
Pelakunya berasal dari kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta,
Semarang, Medan serta Riau. Motif utama adalah ekonomi. Peringkat kedua hacking
dengan merusak dan menjebol website pihak lain dengan tujuan beragam, mulai
dari membobol data lalu menjualnya atau iseng merusak situs tertentu.
Kejahatan internet lainnya,
pornografi yakni menjadikan internet sebagai arena prostitusi. Sejumlah situs
porno yang digunakan sebagai pelacuran terselubung dan penjualan aksesoris seks
pernah diusut Polda Metro Jaya, dan pengelolanya ditangkap. Situs judi seperti
indobetonline.com, juga pernah dibongkar Mabes Polri. Selain itu, belum lama
ini, kepolisian Tangerang juga membongkar judi di situs tangkas.net yang
menyediakan judi bola tangkas, Mickey Mouse dan lainnya. Kejahatan lainnya,
penipuan lewat internet.
“Kejahatan internet ada dua
kategori, yakna sasaran utamanya fasilitas komputer sebagai alat teknologi dan
tidak hanya sebagai sarana. Kategori ke dua, menjadikan komputer sebagai sarana
melakukan kejahatan.
1.5.2
ANCAMAN HACKER
AMATIR
Mencermati kasus “dikerjai”-nya
situs-situs e-commerce besar dunia semacam Yahoo, Altavista, dan ETrade oleh
sejumlah hacker membuat segenap praktisi teknologi informasi terkesiap.
Terkejut karena selama ini perusahaan-perusahaan besar tersebutlah yang menjadi
best practice dan idola bagi mereka yang ingin mengerup ke untungan melalui
sukses bisnis di internet. Kalau fenomena ini ditelaah lebih lanjut, sebenarnya
terkandung makna yang jauh lebih mendasar, yaitu bagaimana proses sabotase
terhadap perusahaan yang menjalankan bisnisnya di dunia maya dapat dilakukan
oleh siapa saja dan kapan saja secara mudah. Terbukti secara teknis, bahwa
tidak diperlukan keahlian seorang hacker profesional untuk dapat
“menghancurkan” sebuah situs internet.
Apakah situs anda akan terganggu
seandainya pada saat yang bersamaan seribu orang mengirimkan email ke
administrator dengan file attachment sebesar 100 megabyte? Jika anda adalah
penyedia jasa mailing forwarding, apakah akan terjadi eternal loop seandainya
seseorang mengirimkan pesan elektronik ke dua alamat email yang saling
mereferensi? Apakah situs anda yang bekerja berdasarkan struktur pohon (seperti
multi level marketing) akan tetap bekerja normal seandainya seseorang membuat
pohon dengan sejuta level hirarkis? Dapatkah situs anda membedakan antara email
yang mengandung virus atau tidak (trojan horse)? Bagaimana jika suatu kali
seseorang mengirimkan pesan bohong ke seluruh dunia melalui email yang
mengatakan bahwa jika mereka masuk ke situs anda pada tanggal tertentu,
sejumlah uang secara gratis akan diberikan kepada mereka (bayangkan berapa
hitters yang akan masuk ke sistem anda pada saat yang bersamaan)? Atau mungkin
salah seorang anggota resmi situs anda yang memberikan login name dan password
kepada rekan-rekannya sehingga pada saat yang sama terjadi proses download oleh
beratus-ratus orang secara serempak? Ada beberapa hal pokok yang harus
diperhatikan sehubungan dengan kemungkinan terjadinya fenomena di atas yang
secara langsung mengancam industri berbasis electronic commerce (Indrajit,
2000).
Hal pertama yang harus dimengerti
adalah bahwa meluncurkan sebuah aplikasi ke dalam internet sama sekali berbeda
dengan mengimplementasi-kan sebuah perangkat lunak di perusahaan. Menghubungkan
diri ke dunia maya berarti siap berhadapan dengan hal-hal eksternal yang berada
di luar kontrol perusahaan. Dengan kata lain, aplikasi berbasis internet yang
diluncurkan harus dirancang dan diujicobakan sedemikian rupa sehingga dapat
mencegah segala kemungkinan percobaan sabotase yang dapat terjadi. Resep yang
baik untuk diterapkan adalah dengan menganggap bahwa di dunia maya terdapat
banyak sekali orang jahat yang siap mengganggu setiap situs yang dibangun.
Hal kedua yang tampak adalah bahwa
di dalam dunia maya, terkesan bahwa perangkat hukum dan etika yang ada tidak
cukup menjamin untuk tidak terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau perbuatan
kejahatan yang dilakukan seseorang, kelompok, atau komunitas tertentu. Nature
dari bisnis internet memperlihatkan bahwa pada akhirnya, strategi bisnis dan
strategi teknologi informasi merupakan kunci berhasilnya sebuah perusahaan
dalam membangun sebuah sistem “pertahanan dan keamanan” yang efektif.
Hal ketiga yang dapat diambil
sebagai bahan pertimbangan adalah kenyataan bahwa sistem keamanan (security
system) yang telah banyak ditawarkan oleh berbagai vendor (perangkat keras
maupun perangkat lunak) hanyalah merupakan suatu fasilitas untuk memperkecil
resiko diganggunya sebuah situs internet oleh pihak-pihak tertentu, bukan
menghilangkannya. Persis seperti pada dunia nyata, dimana antara polisi dan
penjahat selalu terjadi skenario “adu pintar”. Terkadang unsur kreativitas
manusia yang digabungkan dengan teknologi tinggi dapat menciptakan suatu sistem
keamanan yang sangat baik.
Hal keempat yang tidak rugi untuk
dipelajari adalah adanya konsep “loss opportunity” yang sedikit berbeda dengan
ilmu ekonomi konvensional. Dalam bisnis internet, gangguan selama beberapa
detik namun tidak pada saat yang tepat dapat mengakibatkan kerugian materiil
maupun non-materiil yang sangat besar. Tengoklah kesan seorang user yang
mendapatkan pesan kesalahan (error) ketika ingin melakukan akses terhadap
sebuah situs tertentu yang kebetulan sedang “ngadat”. Akibat yang ditimbulkan
tidak hanya terbatas pada hilangnya kesempatan melakukan sebuah transaksi
perdagangan, namun lebih jauh dapat mengakibatkan punahnya kepercayaan para
pelanggan yang mengalami hal yang sama. Contoh kasus lain yang dapat berakibat
buruk pada perusahaan, terutama di negara maju, adalah kerugian yang harus
ditanggung dan dibayar karena tuntutan hukum sehubungan dengan kalahnya
seseorang dalam melakukan proses pelelangan (atau transaksi bermodel jual beli
bebas di bursa internet) akibat adanya gangguan teknis yang hanya beberapa
detik.
Hal terakhir yang tidak kalah
menariknya adalah suatu kenyataan, bahwa dalam melakukan bisnis di internet,
tidak dikenal istilah “jam kerja kantor”. Setiap perusahaan harus “melek”
selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk menjual produk dan jasa, melayani
kebutuhan pelangganl dan menghadapi kemungkinan masuknya penjahat-penjahat
elektronik. Lengah sebentar saja, tidak mustahil akan membuat perusahaan gulung
tikar.
Kelima hal pokok tersebut
memperlihatkan, bahwa berbisnis di internet tidaklah sekedar merubah “medan
perang” konvensional yang bersifat fisik menjadi elektronis, tetapi sama saja
dengan memasuki sebuah dunia yang sama sekali baru. Dunia dimana paradigma
dalam melakukan bisnis sama sekali berbeda dengan kebiasaan normal. Peraturan
menjadi tidak efektif, hukum dan etika sulit diterapkan, perilaku komunitas
tidak dapat dikendalikan, jumlah perusahaan yang menawarkan jasanya tidak
terbatas dan tidak dapat dibatasi, segmentasi produk dan industri sangat sulit
untuk dilakukan, kompetitor tidak terkira jumlahnya, ancaman penjahat
elektronis dapat terjadi setiap saat, dan tidak adanya kejelasan antara kawan
dan lawan bisnis merupakan beberapa hal yang mencirikan karakteristik dunia
maya. Pada saatnya nanti akan terlihat, bahwa yang akan menang dalam persaingan
bisnis e-commerce adalah bukan perusahaan yang paling kaya (dilihat dari sumber
daya yang dimiliki) atau yang paling kuat (kokohnya jaringan bisnis dengan
tokoh pengambil keputusan), namun yang paling cerdik, paling dinamis, paling
lincah, paling kreatif, yang dapat dengan mudah beradapatasi dengan perubahan
yang setiap detik dapat terjadi.
1.5.3
PELANGGARAN NAMA DOMAIN
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber
(dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan
karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”.
Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu
ini.
Contoh permasalahan yang berhubungan dengan hilangnya
ruang dan waktu antara lain: Seorang penjahat komputer (cracker) yang
berkebangsaan Indonesia, berada di Australia, mengobrak-abrik server di
Amerika, yang ditempati (hosting) sebuah perusahaan Inggris. Hukum mana yang
akan dipakai untuk mengadili kejahatan cracker tersebut? Contoh kasus yang
mungkin berhubungan adalah adanya hacker Indonesia yang tertangkap di Singapura
karena melakukan cracking terhadap sebuah server perusahaan di Singapura. Dia
diadili dengan hukum Singapura karena kebetulan semuanya berada di Singapura.
Nama domain (.com, .net, .org, .id, .sg, dan
seterusnya) pada mulanya tidak memiliki nilai apa-apa. Akan tetapi pada
perkembangan Internet, nama domain adalah identitas dari perusahaan. Bahkan
karena dominannya perusahaan Internet yang menggunakan domain “.com” sehingga
perusahaan-perusahaan tersebut sering disebut perusahaan “dotcom”. Pemilihan
nama domain sering berbernturan dengan trademark, nama orang terkenal, dan
seterusnya. Contoh kasus adalah pendaftaran domain JuliaRoberts.com oleh orang
yagn bukan Julia Roberts. (Akhirnya pengadilan memutuskan Julia Roberts yang
betulan yang menang.) Adanya perdagangan global, WTO, WIPO, dan lain lain
membuat permasalahan menjadi semakin keruh. Trademark menjadi global.
Pajak (tax) juga merupakan salah satu masalah yang
cukup pelik. Dalam transaksi yang dilakukan oleh multi nasional, pajak mana
yang akan digunakan? Seperti contoh di atas, server berada di Amerika, dimiliki
oleh orang Belanda, dan pembeli dari Rusia. Bagaimana dengan pajaknya? Apakah
perlu dipajak? Ada usulan dari pemerintah Amerika Serikat dimana pajak untuk
produk yang dikirimkan (delivery) melalui saluran Internet tidak perlu
dikenakan pajak. Produk-produk ini biasanya dikenal dengan istilah “digitalized
products”, yaitu produk yang dapat di-digital-kan, seperti musik, film,
software, dan buku. Barang yang secara fisik dikirimkan secara konvensional dan
melalui pabean, diusulkan tetap dikenakan pajak.
Bagaimana status hukum dari uang digital seperti
cybercash? Siapa yang boleh menerbitkan uang digital ini?
Perkembangan teknologi komunikasi dan komputer sudah
demikian pesatnya sehingga mengubah pola dan dasar bisnis. Untuk itu cyberlaw
ini sebaiknya dibahas oleh orang-orang dari berbagai latar belakang (akademisi,
pakar TekInfo, teknis, hukum, bisinis, dan pemerintah).
Salah satunya adalah mengenai nama domain yang sama,
dimana hal ini sangat merugikan banyak pihak terutama Pihak yang mempunyai
Domain yang asli. Banyak dontoh domain yang telah diasamarkan, diantaranya
Mustika ratu, gusdur.Com, Klikbca.com, kafedomain.com dan lain sebagainya.
Tetapi banyak kasus yang telah diselesaikan dan
diputuskan oleh Mahkamah Agung, Contoh kasusnya adalah Seperti dikutip pada
majalah TEMPO. Mahkamah Agung menghukum 4 bulan penjara terdakwa Chandra
Sugiono – pembeli domain yang merugikan pihak Mustika Ratu. Putusan MA ini
adalah vonis kasasi pertama kalinya dalam sejarah delik internet di Indonesia.
majelis hakim yang dipimpin oleh hakim agung Suharto dedngan anggota Abdul
Kadir Mappong dan Usman Karim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan
tindak pidana persaingan curang. Hal ini dikarenakan pada tahun 2000 Chandra
mendaftarkan nama domain mustika-ratu.com tanpa izin dari perusahaan jamu dan
kosmetik tradisional Mustika Ratu. Pada waktu itu Chandra adalah direktur
Teknologi Informasi, PT Djago Emas, sekaligus manajer pemasaran di PT. Martina
Berto, perusahaan pesaing Mustika Ratu. Menurut majelis, perbuatan terdakwa
telah merugikan Mustika Ratu karena berkurangnya transaksi dengan mitra di luar
negeri. Dia juga dinilai tidak punya itikad baik, karena tidak menawarkan nama
domain itu kepada mustika ratu. Berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri
sebelumnya yang telah memenangkan Chandra dengan alasan dakwaan jaksa tidak
terbukti. Sehingga dinilai belum menikmati hasil keuntungan dari pembelian nama
domain tersebut, sehingga belum menimbulkan kerugian di pihak lain. Karena itu terdakwa
dibebaskan dari segala tuntutan. Disisi kalangan ahli internet mengenai
pembelian nama domain tersebut berlaku “Siapa cepat, Dia Dapat”. Siapapun boleh
mendaftarkan seuah nama domain sesuai dengan kehendaknya. Namun karena pada
perkembangannya timbul sengketa maka dibentuklah ICANN, Komisi internasional
yang mengatur kebijakan nama domain . Komisi ini mempunyai mekanisme dan cara
penyelesaian sengketa, mekanisme ini dikenal dengan nama Uniform Domain Name
Dispute-Resolution Policy (UDRP) yang sudah diberlakukan mulai tanggal 24
oktober 1999. Menurut Budi Rahardjo, admin IDNIC (domain indonesia), putusan
tersebut adalah berat.Kasus sengketa tersebut seharusnya bisa diselesaikan
melalui musyawarah atau gugatan perdata, toh ada mekanisme UDRP tersebut.
Dengan semakin kompleksnya masalah bisnis, kemungkinan
terjadinya sengketa / kesalahpahaman juga semakin besar. Untuk mengatasi
sengketa/kesalahpahaman biasanya, setelah gagal melakukan negosiasi, maka para
pihak akan menempuh jalur pengadilan. Dengan berjalannya waktu, banyak kritik
terhadap proses pengadilan: waktu yang lama (bisa mengambang saja), biaya yang
besar, hakim yang berlatarbelakang general, dan eksekusi yang terkadang tidak
dapat dilakukan. Muncul perkembangan baru yaitu arbitrase, di Indonesia: BANI.
Proses ini mempunyai kelebihan, waktu bisa lebih singkat karena tidak ada
proses banding (sudah final), biaya bisa lebih rendah, arbiter (hakimnya) dapat
dipilih biasanya yang dianggap punya pengetahuan atau latar belakang pada kasus
yang disengketakan, prosesnya tertutup (dapat dirahasiakan; bandingkan dengan
di PN yang cepat tercium pers). Kelebihan yang terakhir ini sangat cocok bagi
kalangan bisnis dimana sengketa yang dialaminya sedapat mungkin infonya tidak
tersebar. Perkembangan selanjutnya, adalah proses mediasi. Dalam proses ini,
kekhawatiran para pihak mendapatkan hasil/keputusan yang tidak diinginkan dapat
dikesampingkan. Dalam mediasi, keputusan dibuat oleh para pihak itu sendiri,
sedangkan pada dua proses sebelumnya dilakukan oleh hakim dan arbiter. Mediasi
juga dapat menjaga kerahasiaan proses, biaya dan waktu yang lebih efisien.
Karena keputusan dibuat oleh para pihak sendiri, dengan bantuan Mediator untuk
bernegosiasi kembali, biasanya kesepakatan tersebut juga lebih tahan lama.
Saat ini, dalam proses beracara di Pengadilan Negeri,
proses mediasi merupakan menu pembuka wajib bagi seluruh kasus perdata sejak
September ’03 (court annexed mediation). Mediasi dapat dilakukan juga sebelum
kasusnya didaftarkan sebagai gugatan ke pengadilan (out of court mediation).
Pusat Mediasi Nasional melayani keduanya. [www.pmn.or.id].
Untuk menghindari kesamaan dalam membuat nama Domain,
Ini kutipan peraturan pendaftaran domain .web.id, paling bebas, karena yang
mendaftarkan boleh siapa saja selama warga negara indonesia dan hanya butuh no
KTP.
# Kriteria pemilihan nama domain
·
Pilih nama domain yang singkat dan jelas.
·
Ada kaitan jelas antara nama domain dengan keterangan
yang tercantum pada formulir pendaftaran.
·
Tidak menggunakan nama yang menunjukkan nama
geografis.
·
Tidak melanggar HaKI.
·
Tidak menggunakan kata-kata yang menimbulkan dampak
SARA.
·
Tidak menggunakan kata-kata yang melanggar norma-norma
dan kaidah hukum dan agama yang berlaku di Indonesia.
·
Nama domain terdiri dari Alphabet “A-Z”,”a-z”, angka
“0-9?, dan karakter “-”. (RFC819)
·
Nama domain selalu diawali dengan alphabet. (RFC819)
·
Nama domain minimum dua karakter
·
Direkomendasikan panjang nama domain tidak lebih dari
26 karakter.
Sehubungan dengan sedang semaraknya permasalahan mengenai
tindakan penggunaan Domain Name yang berlawanan dengan hukum akhir-akhir ini,
maka tampaknya perlu diluruskan kembali pemahaman masyarakat mengenai
aspek-aspek hukum yang berkenaan dengan keberadaan suatu domain name, yang
sebenarnya secara substansiil adalah sangat berbeda dengan keberadaan suatu
merek dalam lingkup perdagangan dan industri.
Sebenarnya keberadaan suatu Nama Domain (Domain Name)
hanyalah keberadaan suatu alamat dalam suatu jaringan komputer global
(Internet), dimana dalam jaringan komputer global tersebut tidak ada suatu
otoritas pusat ataupun kewenangan yang tersentral yang berfungsi sebagaimana
layaknya suatu pemerintahan. Ia dibangun adalah berdasarkan atas kaedah ataupun
asas kebebasan berinformasi (freedom of information) dan asas kebebasan
berkomunikasi (free flow of information) dari para pihak yang menggunakannya,
sehingga keberadaannya semula adalah medium komunikasi global (network of
networks) dari semua pihak. Namun dalam perkembangannya, terjadi juga perubahan
social behaviour dari masyarakat penggunanya yang semula hanya untuk saling
tukar menukar informasi saja kini meningkat kepercayaannya menjadi sarana
komunikasi yang intensitasnya ditujukan untuk transaksi perdagangan. Oleh
karenanya semakin meningkatlah arti dan peranan dari jaringan tersebut, yang
tidak hanya menjadi suatu medium komunikasi melainkan juga menjadi suatu medium
untuk transaksi dalam perdagangan.
Selanjutnya dengan semakin semaraknya komersialisasi
di Internet, maka kini semakin bernilailah keberadaan Domain Name tersebut
dikalangan masyarakat, terlebih lagi karena keberadaan domain name yang
intuitif dengan nama si penggunanya ternyata dapat bernilai komersial. Bahkan
cenderung keberadaannya sekarang disadari sebagai suatu intangible asset
sebagaimana layaknya Intellectual Property. Apakah pernyataan tersebut benar
atau tidak, mungkin hanya dapat terjawab jika kita melakukan kajian secara
mendalam kepada kaedah-kaedah hukum yang mendasarinya sebagaimana dipaparkan
dalam tulisan ini.
Struktur dan Delegasi Pemberian Nama Domain
Sementara itu kaedah dalam sistem pemberian nama
domain (Internet domain name system structure and delegation) telah dinyatakan
dalam Request For Comment (“RFC”) nomor 1591, yang terdiri atas IP Address
(contoh: 200.98.102.23) dan Alphanumeric Addresses (Domain Name). Adapun jenis
Nama Domain yang diselenggarakan pada hakekatnya adalah bersifat terbuka dan
akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada. Secara
garis besar dibedakan dalam dua klasifikasi yakni: (a) generic Top Level Domain
(gTLD’s), yang dibedakan atas dua jenis lagi yakni yang bersifat open (contoh:
.com, .org, .net), dan ada yang bersifat restricted: (contoh; .edu, .gov, .mil)
, dan (b) Country Code Top Level Domain (ccTLD’s), seperti contohnya adalah:
.id (baca: dot id) untuk negara Indonesia; .fr (baca: dot fr) untuk perancis,
.jp (baca: dot jp) untuk Jepang, .uk (baca: dot uk) untuk Inggris dan lain
sebagainya. Pada hakekatnya dapat dikatakan jenis kedua ini adalah bersifat
restricted karena berfungsi sebagaimana layaknya indikasi geografis dari suatu
domain (indications to the country).
Dalam lingkup perolehan Nama Domain ini, para pihak
yang meminta nama domain tersebut (“Registrant”) dinyatakan bahwa secara
pribadi bertanggung jawab dan menjamin bahwa pengajuan permintaan pendaftaran
Nama Domain yang dilakukannya adalah didasari dengan iktikad baik dan tidak
akan merugikan kepentingan pihak-pihak lain yang secara hukum berkepentingan
atas keberadaan Nama Domain yang dipintakannya tersebut. Oleh karena itu, asas
yang mendasarinya adalah “First Come First Served”.
Perlu dipahami bahwa kaedah hukum yang berlaku dalam
suatu masyarakat informasi yang jelas telah berpendidikan tinggi dan beretika
dengan baik, maka tentunya amanat “untuk beriktikad baik” dibebankan kepada si
anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu terhadap para registrant
diberikan pernyataan untuk menjamin dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri
terhadap sengketa yang berkenaan dengan nama domain tersebut, dan tentunya pihak
Registrar tidak akan bertanggung jawab sama sekali terhadap tuntutan dari
pihak-pihak yang berkepentingan dengan perolehan nama domain tersebut.
Jika dikaji lebih lanjut, yakni dengan diawali oleh
keberadaan RFC 1591 ditambah dengan ketentuan-ketentuan mengenai perolehan
Domain Name yang secara jelas telah dicantumkan dalam policy yang digariskan
oleh IANA (Internet Assigned Number and Adresses) sekarang dikelola ICANN
(Internet Corporation for Assigned Names and Numbers), maka dapat dikatakan
bahwa telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada semua masyarakat pengguna
internet.
Terhadap para pihak yang diberikan amanat/kewenangan
tugas untuk mengelola pendaftaran Nama Domain tersebut (“Registrar”), telah
jelas dinyatakan bahwa “Concerns about ‘rights’ and ‘ownership’ of domains are
inappropriate. It is appropriate to be concerned about ‘responsibilities’ and
‘service’ to the community”. Selain itu juga ditandaskan dari awalnya bahwa
Registrar tidak akan bertanggung jawab terhadap segala implikasi hukum yang
berkenaan dengan Nama Domain tersebut, kecuali yang diakibatkan karena
kelalaiannya dalam mengemban amanat tersebut.
Dalam melakukan tugasnya, pihak Registrars diamanatkan
harus mentaati rule-rule yang diberikan, yakni antara lain berkewajiban mengidentifikasi
kejelasan status subyek hukum dari si Registrant. Dalam hal ini terwujud dengan
kejelasan status subyek hukum si orang tersebut berikut alamat e-mail-nya yang
tercantum pada NIC handle-nya (Administration-Contact, Technical-Contact dan
Billing Contact). Hal ini tentunya sangat mudah dipahami, karena tidak akan
mungkin ada suatu perbuatan hukum yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya
sekiranya tidak jelas siapa orang ataupun subyek hukumnya. Kelalaian terhadap
hal ini akan berakibat ditariknya amanat tersebut dan dapat dialihkan kepada
pihak Registrar yang lain yang mampu mengemban amanat tersebut.
Konflik Kepentingan atas Nama Domain
Sehubungan dengan itu, mengingat keberadaan Domain
Name secara teknis haruslah unique maka dalam prakteknya ternyata banyak pihak
yang memperebutkan keberadaan nama domain yang lebih intuitif dengan nama si
penggunanya tersebut. Sementara itu, tidak semua pihak dengan sigap dan cepat
menyadari dan menanggapi kemajuan teknologi tersebut dengan cara meningkatkan
keberadaannya dalam Internet, sehingga sebagian orang mendahului mendaftarkan
nama-nama yang diketahuinya telah popular dan menjualnya kembali kepada pihak
yang berkepentingan atas nama tersebut dengan harga diatas harga perolehannya,
dengan kata lain hal ini adalah tindakan penyerobotan atas domain name
(cybersquatting).
Selain itu, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang juga
secara tidak etis ingin mengambil keuntungan terhadap Domain Name tsb dengan
cara memanfaatkan reputasi atas nama-nama yang sudah popular (well known) atau
telah bernilai komersial sebelumnya sebagai Domain Name untuk alamat bagi situs
(web-sites) yang dikelolanya. Dengan kata lain ia mencoba mencuri pasar yang
dimiliki oleh orang lain ataupun membonceng reputasi dari keberadaan nama pihak
lain tersebut (predatory action), atau paling tidak nama yang hampir sama
dengan nama yg sudah terkenal tersebut (dilution action). Sebagai contoh adalah
penggunaan nama domain yang tidak jauh berbeda dengan nama pihak lain, misalkan
situs cocacola.com dimiliki oleh perusahaan permen yang mempunyai rasa cola
yang hampir sama dengan rasa dari soft-drink cocacola tersebut. Ataupun ada
pihak ingin yang menggunakan nama dengan jenis ketikan yang tidak jauh berbeda
misalkan www.coca-cola.com atau www.coci-cola.com. Hal ini lebih dikenal dengan
istilah typosquatting.
Hal lain yang hampir serupa dilakukan oleh para pihak
yang saling berkompetisi, adalah dengan melakukan penahanan Nama Domain pihak
kompetitornya yakni dengan tujuan menghambat pihak kompetitor tersebut agar
tidak dapat menggunakan nama yang lebih intuitif dengan dirinya. Hal ini jelas
akan mengurangi popularitasnya di Internet akibat nama domain tersebut tidak
sesuai dengan nama perusahaannya atau nama produknya, paling tidak walaupun ia
dapat menggunakan nama domain lain, kompetitor tersebut tidak akan sepopuler
jika ia menggunakan nama yang dikenal umum oleh masyarakat. Jadi ringkasnya
nuansa pemikirannya, hanyalah untuk menghambat keleluasaan pihak kompetitor
dalam jalan raya informasi Internet.
Dengan melihat uraian tersebut diatas, sepatutnya
dalam hal ini yang menjadi focus permasalahan adalah iktikad tidak baik (bad
faith) dari si Registrant dalam memperoleh Domain Name itu sendiri ataupun
penggunaan Domain Name yang dilakukan secara tidak patut (improperly used),
bukan kepada keberadaan Domain Name yang dianggap berfungsi sebagaimana
layaknya merek dalam lingkup perdagangan dan Industri. Kedua pernyataan
tersebut jelas harus dibedakan karena penekanan dan pokok permasalahannya
sangatlah berbeda konstruksi hukumnya ataupun nuansa hukum yang mendasarinya
(legal sense).
Nama domain
Merek
· Eksistensinya
adalah sebagai alamat dan nama dalam sistem jaringan komputerisasi dan
telekomunikasi.
· Lebih
bersifat sebagai amanat yang diberikan oleh masyarakat hukum pengguna Internet,
ketimbang sebagai suatu property.
· Lebih
bersifat sebagai amanat yang diberikan oleh masyarakat hukum pengguna Internet,
ketimbang sebagai suatu property.
· Lebih
bersifat sebagai property karena merupakan kreasi intelektual manusia yang dimintakan
haknya kpd negara utk kepentingan industri & perdagangan.
· Asasnya
adalah berlaku universal yakni “First Come First Served Basis.
· Asasnya ada
yang menganut “First to Filed” dan ada yang menganut “First to Used”.
· Tidak ada
pemeriksaan substantive
· Harus ada
pemeriksaan substantive
· Sepanjang
tidak dapat dibuktikan beriktikad tidak baik, maka perolehan Nama Domain
bukanlah tindak pidana.
· Sepanjang
tidak diberikan lisensi oleh yang berhak, maka penggunaan merek adalah
pelanggaran
Jadi seharusnya dalam hal ini pendekatannya adalah
sangat kasuistis, sehingga jika seseorang ingin mengajukan Nama Domain ia cukup
melaksanakan kewajiban formilnya saja. Kewajiban substansiil yang harus
dilakukannya hanyalah terbatas kepada kejelasan status subyek hukumnya (legal
identity) saja, bukan kepada pemeriksaan berhak atau tidaknya orang tersebut
atas Nama Domain yang dipintakannya.
Oleh karena itu, pihak Registrar sebenarnya tidak
dapat mempersyaratkan bahwa si Registrant harus melakukan prosesuil yang
bersifat substansiil sebagaimana layaknya pemeriksaan merek atau mencoba
menarik koneksi pemeriksaannya ke dalam database merek ataupun sebaliknya. Hal
tersebut adalah bersifat terlalu berlebihan, sekiranya kita tidak dapat
mengatakannya sebagai salah kaprah ataupun over-rule. Sekiranya hal tersebut
akan terus dilakukan maka para Registrant akan pergi ke Registrar lain, jika ia
ccTLD’s maka dapat dibayangkan warga negara kita lebih menyukai server luar
negeri dibandingkan server dalam negeri. Selain itu, maka si Registrar secara
hukum akan dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaiannya jika ada
keberadaan domain name yang bertentangan dengan Merek. Hal ini tentunya harus
diperhitungkan untung dan ruginya oleh si Registrar tersebut.
Selain semua penyalahgunaan tersebut di atas,
sebenarnya masih ada suatu tindakan yang lebih tidak etis lagi yakni perampasan
nama domain (Domain Hijacking) yang telah dimiliki oleh orang lain. Modus
operandinya adalah dengan cara menipu pihak Registrar yang seolah-olah si
perampas bertindak sebagai si Registrant dan kemudian ia merubah status
penguasaan atas domain (NIC Handle). Dengan berubahnya NIC Handle tersebut maka
berubahlah status kepemilikan atas domain name tersebut. Sekarang ini, hal ini
akan menjadi semakin sulit untuk dilacak akibat begitu banyaknya Registrar
dewasa ini. Dapat dibayangkan bagaimana rumitnya jika domain tersebut
dirampas/dibajak dan dialih-alihkan dari satu Registrar ke Registrar lainnya.
Menurut saya tindakan ini sepatutnya dapat dikategorikan sebagai tindakan
kejahatan terhadap keberadaan Nama Domain pihak lain. Kasus ini sebenarnya
pernah semarak di Indonesia beberapa bulan lalu, namun tidak terekspos ke
permukaan karena para pihak merasa lebih baik meredamnya agar keberadaan
situsnya tetap dapat dipercaya oleh publik.
Pembuktian Iktikad Tidak Baik Atas Nama Domain
Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan yang dicantumkan
dalam Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (“UDRP”), jelas dinyatakan
bahwa si Registrant dianggap telah terbukti beriktikad tidak baik jika ada
pihak yang meng-complain keberadaan Nama Domain tersebut (“Complainant”) dan
ternyata ditemukan indikasi-indikasi sebagai berikut:
- Bahwa si registrant mengalihkan (menjual atau menyewakan) Nama Domain yang dikuasainya kepada pihak lain diatas biaya perolehan yang sebenarnya;
- Bahwa si registrant ternyata bertujuan untuk menghalangi atau menghambat kompetitornya dalam menggunakan nama yang lebih intuitif;
- Bahwa si registrant bertujuan untuk menyerap bisnis kompetitornya;
- Bahwa si registrant bertujuan untuk mendompleng reputasi pihak lain, lewat keserupaan nama ataupun kesan yang ditimbulkan dengan pihak lain (creating likelihood of confusion).
Sementara itu disisi lain, terhadap registrant yang
memperoleh complain tersebut dalam waktu tertentu diberikan waktu dan hak untuk
menjawab guna menerangkan bahwa penguasaannya atas suatu nama domain adalah
mempunyai alas hak atau dengan berdasarkan suatu kepentingan hukum yang sah
(legitimate interest). Hal ini dapat dilakukannya dengan cara menerangkan bahwa:
- Keberadaan nama domain tersebut adalah sebangun ataupun sesuai dengan kepentingan bisnis yang dibangunnya selama ini;
- Keberadaan bisnis si Registrant telah umum dikenal dengan Nama Domain tersebut terlepas dari apakah ia telah mendaftarkan sebagai merek ataupun belum;
- Si Registrant mengunakan Nama Domain tersebut tidak untuk tujuan yang bersifat komersial (fair use) dengan tanpa intensitas untuk membingungkan ataupun mengelabui pihak lain atas keberadaan suatu merek ataupun nama yang telah terkenal di masyarakat.
Mekanisme Penyelesaian Masalah Nama Domain
Ketika dulu registrar masih hanya dipegang oleh NSI
(Network Solutions Inc.), kebijakan yang diambilnya dalam sengketa domain yang
berkenaan dengan merek telah banyak diprotes oleh masyarakat pengguna Internet,
karena hanya berpihak dari sisi kepentingan pemegang nama ataupun merek
tersebut. Hal ini dilakukannya dengan cara meng-hold Domain Name yang
dikomplain oleh si Pemegang Merek tersebut, tanpa jelas terbukti bahwa orang
tersebut telah beriktikad tidak baik. Padahal semestinya, Registrar tidak
diperkenankan untuk melakukan suatu tindakan apapun terhadap Nama Domain yang
telah dikuasai oleh Registrant, kecuali kepentingan sistem hukum
menghendakinya.
Selanjutnya, dengan kehadiran ICANN maka jumlah registrar
semakin majemuk dalam artian pengurusan perolehan Top Level Domain tidak lagi
hanya dipegang oleh NSI saja melainkan dapat dikelola oleh pihak lain yang
telah memenuhi kwalifikasi yang dipersyaratkan dan di-approved oleh ICANN
sebagai registrar.
Mekanisme penyelesaian sengketa atas Nama Domain yang
digariskan oleh ICANN pada hakekatnya adalah dikembalikan kepada para pihak itu
sendiri, untuk menempuh alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih, yakni
dapat diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat (resolved by the parties
themselves), mekanisme peradilan umum (the courts) atau Arbitrasi yang
di-approved oleh ICANN’s (approved dispute resolution provider) atau
lembaga-lembaga pengambil keputusan keadilan lain yang dikenal secara hukum.
Sehubungan dengan itu, berbicara tentang sengketa
biasanya para pihak seringkali akan mempermasalahkan mengenai yurisdiksi hukum
mana yang akan berlaku untuk para pihak yang bersengketa. Sebenarnya
permasalahan ini baru sangat relevan jika para pihak yang bersengketa adalah
berbeda warga negara, namun sekiranya para pihak adalah sama
kewarganegaraannya, maka sepatutnya para pihak jangan coba melarikan diri
dengan cara mempermasalahan locus delicti dan tempus delicti-nya. Hal ini
adalah karena ditengah keberadaan sistem internet yang bersifat ubiquotus
tentunya yang sepatutnya dibicarakan bukanlah dimana lokasi terjadinya tindak
pidana, melainkan kepentingan hukum bangsa mana yang terlanggar. Oleh karena
itu sepatutnya pemerintah mampu mengupayakan penarikan pihak lain kedalam
sisstem hukum kita sekiranya ia melanggar kepentingan hukum bangsa kita.
Berkenaan dengan yurisdiksi, maka UDRP menyatakan
bahwa Complainant dapat mengajukan keberatannya di wilayah hukum dimana
registrar berada, atau dimana admin contact dari Nama Domain itu berada, atau
diajukan kepada arbitrase yang sesuai dengan lokasi registrar tersebut berada.
Strategi dan Tindakan Preventif
Untuk menghadapi iktikad tidak baik tersebut, untuk
sementara ini dan yang umumnya telah dilakukan oleh para pengguna Internet
adalah melakukan tindakan prophylactic measures yakni dengan mendaftarkan
keberadaan nama perusahaanya ataupun merek dagangnya kedalam semua jenis nama
domain yang tersedia. Sayangnya hal ini jelas mengakibatkan pengeluaran yang
cukup besar untuk biaya administrasi pendaftaran Nama Domain tersebut.
Selain itu, sebenarnya pemegang merek dapat juga
menggunakan mekanisme invoke policy yang disediakan dalam UDRP, tentunya dengan
memahami semua rule yang disediakannya, sebagaimana telah dijelaskan pada uraian-uraian
diatas.
Sebagai suatu perbandingan, dalam sistem hukum di
Amerika Serikat terhadap perkara yang berkenaan dengan typosquatting, maka
pemegang merek dapat menggunakan ketentuan Federal Trademark Dilution Act 15
USC art. 1125 (c) karena pemegang merek tidak direpotkan dengan pembuktian
sejauh mana dilusi merek itu terjadi. Ia hanya cukup menjelaskan bahwa
reputasinya telah terkenal, dan pihak lawan tersebut telah membuat kebingungan
di masyarakat akibat kesamaan yang dilakukannya. Dalam hal ini, pihak lawanlah
yang dibebankan untuk melakukan pembuktian di pengadilan bahwa ia tidak
melakukan tindakan dilusi tersebut.
Sementara itu, untuk menghadapi tindakan
cybersquatting di Internet maka Pemerintah AS memandang perlu untuk
mengeluarkan ketentuan yang khusus mengatur tentang itu, yakni
Anti-Cybersquatting Act yang melindungi kepentingan para pemegang merek atas
individu yang beriktikad tidak baik dalam memperoleh domain name tersebut,
karena tidak dapat diakomodir oleh Federal Trademark Dilution Act tersebut
akibat ruang lingkupnya yang lebih luas.
Sistem Hukum Nasional dan Keberadaan Internet terhadap
Nama Domain
Berkaitan dengan kasus sengketa Nama Domain sudah
mulai merebak di Indonesia, maka berdasarkan kepada uraian tersebut di atas,
telah terlihat jelas bahwa perangkat perundang-undangan yang dapat digunakan
adalah:
- Pasal 72 dan 82 Undang-undang No.14 Tahun 1997 tentang Merek, untuk kasus typosquatting;
- Untuk kasus-kasus cybersquatting dan domain hijacking dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Pidana Umum, seperti misalnya pasal 382 bis KUHP tentang Persaingan Curang, pasal 493 KUHP tentang Pelanggaran Keamanan
- Umum Bagi Orang atau Barang dan Kesehatan Umum, pasal 362 KUHP tentang Pencurian, dan pasal 378 KUHP tentang Penipuan; dan
- pasal 22 dan 60 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk tindakan domain hijacking.
Terlepas setelah kita melihat klausul mana yang dapat
bekerja, maka sebaiknya kita amati dulu keberadaan sistem hukum nasional kita.
Hal ini adalah mengingat bahwa keberadaan sistem hukum di Amerika yang
beraliran Anglosaxon tidak dapat dipersamakan dengan keberadaan hukum kita yang
beraliran Eropa Continental.
Sekilas memang tampaknya, sistem hukum yang mereka
anut mampu menjawab semua permasalahan hukum yang terjadi ditengah masyarakat
dengan begitu dinamisnya, jurisprudensi yang berkaitan dengan itu dan
produk-produk legislatif yang dikeluarkan oleh setiap negara bagian. Namun,
disisi lain sebenarnya hal tersebut mengkibatkan kurang kuatnya dasar pemikiran
dalam menyikapi perkembangan yang terjadi, karena sifatnya kurang begitu
konservatif dan membumi filosofi hukumnya.
Sementara itu, kecenderungan sekarang ini begitu
memprihatinkan karena banyak sekali para ahli ataupun para netters itu sendiri
yang meyakini seolah-olah bahwa di internet masih merupakan daerah rimba
belantara yang bebas hukum dan tidak ada ketentuan hukumnya sama sekali.
Pemahaman seperti ini jelas keliru sama sekali dan tidak baik untuk masyarakat
serta tidak mendidik untuk kepentingan bangsa yang berupaya bangkit dari
keterpurukan krisis mental bangsa kita. Tambahan lagi pemahaman seperti ini
adalah merupakan pencerminan dari para netters yang tidak mempelajari kaedah
hukum yang berlaku dalam Internet Global Community (“Masyarakat Hukum Pengguna
Internet”).
Sehubungan dengan keberadaan Internet yang secara
teknis terjalin dengan keberadaan protocol TCP/IP, maka secara hukum ia
merupakan perwujudan dari kaedah-kaedah hukum yang berlaku dalam berkomunikasi
dan berinformasi. Hanya saja dalam lingkup permasalahan ini sebenarnya ada
sedikit tarik menarik antara kepentingan masyarakat hukum pengguna internet
(internet global community) dengan kepentingan hukum nasional yang melindungi
kepentingan bangsanya.
Adalah suatu hal yang sangat logis sekiranya kita
sebagai anggota keluarga yang baru pindah dari suatu masyarakat ke masyarakat
lain, maka dengan sendirinya kita harus mengikuti kaedah-kaedah hukum dalam
masyarakat tersebut. Namun hal tersebut tentunya juga dengan tidak meninggalkan
keberadaan karakteristik keluarga tersebut sebagai suatu sistem masyarakat
tersendiri yang telah terbentuk sebelumnya.
Uniknya, jika kita masuk dalam lingkup masyarakat
pengguna internet (internet global community) maka mau tidak mau secara hukum
kita otomatis telah menundukan diri dengan keberlakuan kaedah hukum yang
berlaku di dalamnya. Contohnya, kita harus melihat RFC 1087 mengenai etika
dalam internet (Ethics in Internet), bahkan sebelumnya kita juga sepatutnya
mengetahui bagaimana etika dalam berkomputerisasi yakni harus menghargai
Privacy, Accuracy, Property dan Accessibility sesuai dengan asas Freedom of
Information dan Free Flow of Information.
Jika kita berbicara hukum, sebenarnya kita berbicara
mengenai keberadaan sistem hukum nasional yang berlaku mengikat kepada warga
negaranya dan kepada warga negara lain yang melanggar keberadaan sistem hukum
nasional tersebut. Jadi semestinya jangan disamakan dengan pengertian tentang
regulasi. Sekilas memang tampak benar jika belum ada ketentuan hukum yang
mengatur secara jelas dalam suatu UU yang khusus dikatakan belum ada hukumnya,
namun dalam sistem hukum keberadaan hukum yang berlaku dimasyarakat tidak
tergantung kepada materi hukum yang tertulis dalam UU, karena masih ada materi
hukum yang tidak tertulis yang sebenarnya juga berlaku ditengah masyarakat,
sebagai contoh adalah keberadaan sistem hukum adat dalam masyarakat kita dan
kebiasaan-kebiasaan yang dianut dalam praktek bisnis di negara kita.
Jika kita mengkaji lebih lanjut tentang keberadaan
suatu sistem hukum nasional yang terdiri atas Substance (materi hukum),
Structure (Institusi Hukum) dan Legal Culture (Kebudayaan Hukum Masyarakat).
Maka, sistem hukum nasional yang baik dan progresif, semestinya tidak
tergantung kepada ada atau tidaknya Undang-undang melainkan akan lebih banyak
tergantung kepada kesigapan terhadap segala tindakan dan pemikiran dari
aparatur dari struktur hukum yang ada untuk menyikapi semua perkembangan yang
ada secara bijaksana.
Dalam lingkup Internet, maka kaedah-kaedah hukum yang
terbangun didalamnya jelas berbanding lurus dengan karakteristik suatu
masyarakat informasi (information society). Oleh karena itu, seharusnya bangsa
kita harus kembali berintrospeksi diri apakah masyarakat kita yang termasuk
dalam pengguna internet telah merupakan suatu masyrakat informasi yang
mempunyai etika berkomunikasi yang tinggi, sehingga sekiranya kita dianggap
tidak beretika dengan baik maka tentunya bangsa kita tidak dapat dipercaya
dalam medium cyberspace tersebut. Jadi agar bangsa kita dapat eksis dan
dipercaya oleh masyarakat global internet sehingga kita dapat menggunakan
internet sebagai medium perdagangan global, maka tentunya harus ada kesepakatan
bersama dari bangsa kita untuk sama-sama mengamankan keberadaan system dalam
internet. Jika tidak, maka bangsa kita tidak usah bermimpi untuk mengambil
keuntungan dalam pemanfaatan Internet sebagai medium transaksi perdagangan
secara elektonik (e-commerce), apalagi untuk bernegara dan berdemokrasi
(e-government dan e-democracy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar